|
Menarik menyimak argumentasi para peminat astronomi
tentang makna sab'a samaawaat (tujuh langit). Namun ada
kesan pemaksaan fenomena astronomis untuk dicocokkan dengan
eksistensi lapisan-lapisan langit.
Di kalangan mufasirin lama pernah juga berkembang
penafsiran lapisan-lapisan langit itu berdasarkan konsep
geosentris. Bulan pada langit pertama, kemudian disusul
Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus pada
langit ke dua sampai ke tujuh.
Konsep geosentris tersebut yang dipadukan dengan
astrologi (suatu hal yang tidak terpisahkan dengan astronomi
pada masa itu) sejak sebelum zaman Islam telah dikenal dan
melahirkan konsep tujuh hari dalam sepekan. Benda-benda
langit itu dianggap mempengaruhi kehidupan manusia dari jam
ke jam secara bergantian dari yang terjauh ke yang
terdekat.
Bukanlah suatu kebetulan 1 Januari tahun 1 ditetapkan
sebagai hari Sabtu (Saturday -- hari Saturnus -- atau Doyobi
dalam bahasa Jepang yang secara jelas menyebut nama hari
dengan nama benda langitnya). Pada jam 00.00 itu Saturnus
yang dianggap berpengaruh pada kehidupan manusia. Bila
diurut selama 24 jam, pada jam 00.00 berikutnya jatuh pada
matahari. Jadilah hari berikutnya sebagai hari matahari
(Sunday, Nichyobi). Dan seterusnya.
Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit
yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi hari Bulan
(Monday, getsuyobi, Senin), hari Mars (Kayobi, Selasa), hari
Merkurius (Suiyobi, Rabu), hari Jupiter (Mokuyobi, Kamis),
dan hari Venus (Kinyobi, Jum'at). Itulah asal mula satu
pekan menjadi tujuh hari.
Pemahaman tentang tujuh langit sebagai tujuh lapis langit
dalam konsep keislaman mungkin bukan sekadar pengaruh konsep
geosentris lama, tetapi juga diambil dari kisah mi'raj
Rasulullah SAW. Mi'raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha
ke Sidratul Muntaha yang secara harfiah berarti 'tumbuhan
sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak
ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh
lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari
batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan
hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul
muntaha itu.
Secara sekilas kisah mi'raj di dalam hadits shahih
sebagai berikut: Mula-mula Rasulullah SAW memasuki langit
dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya
berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli
neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke
tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya.
Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di
langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di
langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi
Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya
baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya,
setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah
masuk lagi.
Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul
Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul
muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik
(bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia:
sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir.
Jibril juga mengajak Rasulullah SAW melihat surga yang
indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat
An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud
Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah
diterimanya perintah shalat wajib.
Lapisan Langit?
Langit (samaa' atau samawat) di dalam Al-Qur'an berarti
segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa
luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu,
dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan
tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak
dikenal dalam astronomi.
Ada yang berpendapat lapisan itu ada dengan berdalil pada
QS 67:3 dan 71:15 sab'a samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag
menyebutkan "tujuh langit berlapis-lapis" atau "tujuh langit
bertingkat-tingkat". Walaupun demikian, itu tidak bermakna
tujuh lapis langit. Makna thibaqaa, bukan berarti
berlapis-lapis seperti kulit bawang, tetapi (berdasarkan
tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan, Hasbi Ash-Shidiq, dan
lain-lain) bermakna bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu di
atas yang lain.
"Bertingkat-tingkat" berarti jaraknya berbeda-beda.
Walaupun kita melihat benda-benda langit seperti menempel
pada bola langit, sesungguhnya jaraknya tidak sama.
Rasi-rasi bintang yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip
layang-layang, dan sebagainya sebenarnya jaraknya berjauhan,
tidak sebidang seperti titik-titik pada gambar di
kertas.
Lalu apa makna tujuh langit bila bukan berarti tujuh
lapis langit? Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau
'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung
banyaknya. Dalam matematika kita mengenal istilah "tak
berhingga" dalam suatu pendekatan limit, yang berarti
bilangan yang sedemikian besarnya yang lebih besar dari yang
kita bayangkan. Kira-kira seperti itu pula, makna ungkapan
"tujuh" dalam beberapa ayat Al-Qur'an.
Misalnya, di dalam Q.S. Luqman:27 diungkapkan, "Jika
seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan
lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi,
maka tak akan habis Kalimat Allah." Tujuh lautan bukan
berarti jumlah eksak, karena dengan delapan lautan lagi atau
lebih kalimat Allah tak akan ada habisnya.
Sama halnya dalam Q. S. 9:80: "...Walaupun kamu mohonkan
ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh puluh kali, Allah
tidak akan memberi ampun...." Jelas, ungkapan "tujuh puluh"
bukan berarti bilangan eksak. Allah tidak mungkin mengampuni
mereka bila kita mohonkan ampunan lebih dari tujuh puluh
kali.
Jadi, 'tujuh langit' semestinya difahami pula sebagai
benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan
sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu apa makna langit pertama, ke dua, sampai ke tujuh
dalam kisah mi'raj Rasulullah SAW? Muhammad Al Banna dari
Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat
Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi'ra, yang berarti
menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik. Tetapi sebagian
lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha juga dari Mesir,
berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra' mi'raj
adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi'raj itu peristiwa fisik bercampur dengan
peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi,
melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta
melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi,
saya sependapat dengan Muhammad Rasyid Ridha dan lainnya
bahwa pengertian langit dalam kisah mi'raj itu memang bukan
langit fisik yang berisi bintang- bintang, tetapi langit
ghaib.
|